Senin, 31 Oktober 2011

Kucing Hitam Pendidikan Karakter Indonesia














Mengembagkan pendidikan karakter itu ibarat 
mencari kucing hitam 
dalam kamar yang gelap, begitulah ujar seorang guru. 
Memulai tahun ajaran baru, banyak sekolah yang mempromosikan 
program pendidikan karakter. Bahkan, tahun ini pun pemerintah juga 
menggemakan pentingnya pendidikan karakter. Namun semakin banyak 
dibicarakan, semakin tidak jelas halnya. 
Akhirnya seperti kata guru tadi, kita berhadapan dengan 
kucing hitam dalam 
kamar yang gelap. Diskursus terbuka wacana pendidikan karakter 
memang menarik dibicarakan. 
Hal sepenting pendididkan karakter yang menyangkut pertumbuhan
individu dan warga negara pada maa kini dan mendatang tidak mungkin 
hanya dibicarakan oleh sekelompok elite pengambil keputusan. 
Diskursus terbuka mesti menjadi hal yang wajar karena pendidikan 
adalah tanggung jawab semua.
Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam 
tema terbuka yang mestidipertmbangkan secara serius oleh setiap 
pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkam 
pendidikan karakter. Meslipun pendidikan karakter dirasakan 
kemendesakannya, baik itu berkaiatan dengan pengembangan 
pembentukan diri individu secara utuh 
maupun dampak pendidikan karakter bagi kelangsungan 
sebuah masyarakat,pendidikan karakter merupakan sebuah 
konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident).
Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan 
berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial,
budaya, agama,psikologi, pendidikan, dan psikis. 
Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan 
dan kesejahteraa individu dan masyarakat mau tidak mau 
mesti melibatkan banyak pihak. 
Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain 
dalam rangka pendidikan karakter.
Namun meskipun setiap pihak memiliki perbedaan kepentingan 
dalam pengembangan pendidikan karakter, ada dua hal yang 
sama-sama menjadi tantangan bagi seriap kalim yang mereka ajukan. 
Pertama, fokus bagi pendidikan karakter. Kedua metodologi. 
Ketiga, evaluasi. Tiga fokus, Ada tiga fokus pendidikan karakter 
yang selama ini mendominasi wacana. 
Pertama pendidikan karaktermemusatkan diri pada 
pengajaran(teaching values). 
Kedua pendididkan karakter yang memusatkan pada 
klarifikasi nilai(value clarification) 
dan yang terakhir, pendidikan karakter yang mempergunakan 
pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development).
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran 
mengutamakan nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari serta 
sekumpulan kualitas keutamaan moral, 
seperti kejujuran, keberanian, dan kemurahan hati agar diketahui 
dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan 
proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki siswa. 
Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutmakan 
perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan 
unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadaian yang relatif 
stabil yang mengarahkan tindakan individu.
Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelektual), 
fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), tetapi tetap saj mereka 
memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan 
dan pemilihan nilai. Sedangakn fokus ketiga mengutamakan pertumbuhan 
motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap 
perkembangan moral individu.
Hiruk pikuk debat tentang pendidikan karakter terutamaberkaitan 
dengan metodologi atau pendekatan. Pendekatan pendidikan karakter 
dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti pada masa Orde Baru 
melalui pelajaran wajib pendidikan pancasila, dikhawatirkan akan 
menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang mematikkan 
nalar dan daya kritis siswa.
Pendekatan pendidikan karakter bisa dilakukan melalaui 
berbagai macam cara, seperti melalui pekajaran khusus, 
integrasi pendidikan pada setiap mata pelajaran, 
atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan 
yang tersedia dalam keseliruhan dinamika pendidikan di sekolah.
Apapun metofologi yang dipilih, setiap paendekatan pendidikan karakter 
akan memiliki konsekuensi berkaitan kesiapan tenaga guru, 
prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komuniitas sekolah tentang 
pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, 
kebijakan sekolah, dan lain-lain.
Evaluasi
Yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter 
adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. 
Pendidikan karakter yang seringkali dianggap sebagai bidang yang sulit diukur, 
dinilai dan dievaluasi. Membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter 
dan dengan demikian, mengenai pengetahuansiswa 
tentangnya melalui 
tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan dengan 
melihat perilaku siswa. 
Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian 
dalam pendidikan karakter.
Masalah evaluasi yang sering dikaitakan dengan tujuan 
pendidikan karakter. 
Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas atau kelulusan, 
seperti yang selama ini dianjurka pemerintah, diamana 
penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan
untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? 
Faktanya, penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekadar 
menjadi semacam kertas. Asal anak lulus ujian nasional,
persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya 
masih bisa diabaikan.
Pendidikan karakter tidak perlu dipahami seprti kucing hitam jika kita 
mampu memetakan persoalan serta barani nertindak untuk menjawab
tantangan bagi pengembangn pendidikan karakter. Indoktrinasi bisa jadi
menjadi salah satu tantangan. Namun relativisme moral serta reduksi 
pendidikan karakter padahal yang sifatnya rohani, spiritual, atau sekadar 
pada tatakrama dan sopan santun, serta ketidak seriusan pelaksanaan 
akibat sulit memahami an menilai pendidikan karakter kiranya menjadi 
tantangan bagi tiap pendidik dan pengambil keputusan.
Pendekatan yang lebih utuh dan menyeluruh dalam pendidikan karakter
kiranya diperlukan. Adanya perbedaan pendapat tentang
pendidikan karakter adalah hal yang sehat. Namun pemaksaan politis,
maupun dari pihak sekolah tentangnya tanpa memberikan 
ruang bagi dialog, debat, diskusi kritik yang terbuka, 
kiranya bukan awal pendidikan karakter yang baik.
Pendidikankarakter mestinya menjadi kotak hitan pendidikan, 
dimana setiap gerak, kegiatan, pemikiran, diskusi, 
praksia yang terjadi di sekolah dapat 
ditelusuri kembali, direnungkan, dievaluasi, sehingga jalan-jalan 
perbaikan itu terbuka. 
Selalu terbuka pada perbaikan inilah sala satu sikap yang mesti 
dimiliki jika kita ingin mengembangkan pendidikan karakter yang 
berkesinambungan.
DONI KOESOEMA .A
Alumnus Boston College Lynch School of Education,
Boston, Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar